Translate

Ticker

6/recent/ticker-posts

Menguak Suku Tikus Shuzu, Sejuta Penghuni Ilegal di Ruang Bawah Tanah Kota Beijing

suku tikus shuzu Beijing

 

Pen4blogkuBanyak  orang memilih untuk mengadu nasib ke kota besar. Namun tidak semua impian bisa mudah diraih di kota besar, seperti halnya Beijing. Di ibu kota China ini kehidupan masyarakatnya begitu padat dengan berbagai gemerlap yang ada di kota.

Namun pada kenyataannya, ada juga kehidupan miris di balik semua itu. Ada banyak orang terpinggirkan yang hidup di bawah tanah kota tersebut. Mereka adalah Shuzu (suku tikus) yang merupakan pekerja imigran berpenghasilan rendah atau mahasiswa yang berusaha hidup dan mengubah nasib di tengah kerasnya kota Beijing.

Mengenal Suku Tikus “Shuzu” Penghuni Ruang Bawah Tanah Kota Beijing

suku tikus shuzu Beijing
Suku tikus Shuzu di bawah tanah Beijing. Gambar via twitter/ The Telegraph

Para penghuni bawah tanah inilah yang disebut Shuzu atau ‘suku tikus’. Orang ini merupakan kaum berpenghasilan rendah yang terpaksa tinggal di hunian murah. Mengingat di Beijing hunian seperti kontrakan dan apartemen yang berdiri di atas tanah harganya terus merangkak naik.

Menariknya, awalnya keberadaan para Shuzu ini tidak diketahui oleh penghuni di atasnya. Namun para penghuni apartemen mewah di kompleks Julong Gardens makin curiga dengan banyaknya wajah-wajah tak dikenal lalu-lalang di sekitar kediaman mereka.

Sampai pada akhirnya para ekspatriat kaya yang tinggal di kompleks mewah kawasan timur laut Beijing mengetahui bahwa ada kamar-kamar tanpa jendela di balik salah satu pintu di ruang bawah tanah salah satu menara apartemen.

Meski tersembunyi di bawah tanah, ada banyak kamar dikontrakkan dan dihuni oleh mereka para Shuzu. Kamar-kamar kontrakan bawah tanah ini jelas saja tak layak huni, bahkan setiap kamar tanpa jendela.

Meski tak layak digunakan, kenyataannya banyak yang tinggal di sana. Bahkan diperkirakan ada sekitar satu juta orang tinggal di kamar-kamar bawah tanah kota Beijing tersebut.

Bahkan cerita terkait suku tikus Shuzu yang ada di Beijing ini pernah dibukukan oleh Patrick Saint-Paul dengan judul  "The Rat People: A Journey through Beijing’s Forbidden Underground".

Dalam buku tersebut, Saint-Paul memperkirakan dari 1,4 miliar populasi penduduk China, ada sekitar 40 persennya terdapat suku tikus Shuzu yang mendiami ruang bawah tanah Beijing.

Angka ini tentu mencengangkan, bertolak belakang jauh dari penghuni kompleks mewah di atasnya yang hanya dihuni sekitar 400 orang saja. Lantas, apa yang menyebabkan kamar bawah tanah tersebut banyak dipilih oleh suku tikus ini?

Menurut lansiran BBC Indonesia, hunian bawah tanah dipilih oleh para buruh, imigran, atau mahasiswa lantaran jauh lebih murah dengan biaya sewa kisaran US$20 atau Rp283.000 per bulan jika dikurskan rupiah saat ini. Sementara sewa apartemen di Beijing rata-rata bisa mencapai 4.550 RMB atau Rp8,8 juta, naik 60% dari 2010.

Melihat fakta tersebut, sudah pasti bagi mereka yang tengah mengadu nasib di kota Beijing akan berupaya keras untuk bisa bertahan hidup dengan kondisi finansial minim, bukan? Tak hanya soal biaya hidup tinggi, kenyataannya harga sewa hunian di ibu kota China tersebut begitu melambung.

Suku Tikus “Shuzu” di Ruang Bawah Tanah Beijing Ilegal

suku tikus shuzu Beijing
Mereka yang tinggal di bawah tanah kota Beijing. Gambar via rnz.co.nz

Keberadaan suku tikus Shuzu ini sebenarnya ilegal di China. Bahkan pemerintah China sudah membuat larangan terkait hal itu. Pemerintah memutuskan bila ruang bawah tanah atau bekas bunker dan sejenisnya tidak boleh disewakan.

Pada tahun 2012 pemerintah Beijing sudah mengeluarkan larangan tinggal di bawah tanah dengan alasan keamanan semisal risiko banjir dan kebakaran. Namun kabarnya, alasan lain pelarangan suku tikus Shuzu di bawah tanah ini bertentangan dengan citra Beijing sebagai kota modern.

Mengutip dari Kumparan, perwakilan dari Pertahanan  Sipil Kota Beijing, Xu Jinbao juga pernah memberikan bantahan terkait pemberian izin tinggal di bawah tanah.

“Kami tidak pernah mengizinkan penggunaan tempat tinggal bunker-bunker di bawah tanah. Tapi seiring berjalannya waktu Beijing menjadi begitu padat sehingga orang mulai berdesakan di bawah tanah," kata office director Kantor Pertahanan Sipil Kota Beijing, Xu Jinbao.

Menurut keterangan dari Radio Nasional China, tempat bawah tanah tersebut adalah milik pemerintah daerah. Namun pada kenyataannya bunker yang sudah disekat-sekat menjadi ruang-ruang seperti kamar, dapur, dan ruang khusus merokok tersebut masih saja disewakan. Justru aparatlah yang dulu memberikan izin dan mendorong penggunaan ruang bawah tanah tersebut sebagai hunian.

Akan tetapi, tahun 2015 aparat pemerintah China melakukan razia besar-besaran terhadap Shuzu. Lebih dari 120 ribu suku tikus Shuzu yang digusur dari ruang bawah tanah.

Keberadaannya di bawah tanah kota Beijing disebut ilegal dan pernah digusur, lantas sejak kapan suku tikus Shuzu mendiami ruang-ruang bawah tanah kota Beijing? Bagaimana mereka bisa tinggal di sana?

Asal Mula Suku Tikus “Shuzu” di Ruang Bawah Tanah Beijing

suku tikus shuzu Beijing
Banyak orang terpaksa tinggal di bawah tanah lantaran banyak alasan. Gambar via dailymail.co.uk

Pada akhir tahun 1950-an, hubungan Republik Rakyat China (RRC) dan uni Soviet kala itu memanas. Perbedaan pandangan politik dari dua negara komunis inilah yang jadi pemicu konflik besar. Bahkan siap untuk lakukan perang nuklir.

Diperkirakan oleh Mao Zedong yang menjadi pemimpin RRC kala itu, puncak ketegangan dengan Uni Soviet tahun 1969 silam. Hingga akhirnya ia memerintahkan rakyat untuk menggali terowongan bawah tumah sebagai tempat berlindung sebagai antisipasi jika Uni Soviet benar-benar menjatuhkan bom atom.

Menurut laporan, tahun 1970 akhir, di 75 kota besar RRC termasuk Beijing telah menggali lubang bawah tanah. Bahkan keseluruhan ruang bawah tanah tersebut dapat menampung hingga 60 % dari populasi rakyat China saat itu. Bahkan Beijing telah membangun terowongan hingga 30 kilometer dan menghubungkan kehidupan 8 juta rakyat di bawah tanah.

Namun apa yang terjadi? Terowongan bawah tanah yang mereka bangun di masa itu sia-sia. Pasalnya terjadi perpecahan di Uni Soviet tahun 1960-an sehingga serangan ke China pun batal terjadi.

Uniknya, para penduduk yang sudah terlanjur nyaman tinggal di bawah tanah pun enggan untuk pindah dari sana. Ada banyak alasan mengapa enggan meninggalkan bunker tersebut.

Menurut mereka tinggal di bawah tanah lebih nyaman lantaran jauh dari kebisingan kota. Tak hanya itu, tinggal di bawah tanah terasa lebih hangat saat musim dingin dan sejuk ketika musim panas.

Jika penduduk yang merasa nyaman tinggal di bawah tanah, sebaliknya pemerintah memerintahkan bunker tersebut dialihfungsikan dan menjadikannya sebagai peninggalan sejarah.

Kantor Pertahanan Sipil memerintahkan masyarakat  untuk menjadikan bunker sebagai pabrik, gudang, arena sepatu roda, atau hal lain dengan tujuan komersil. Namun bukan untuk hunian. Area bekas terowongan inilah yang kemudian disebut Dixia Cheng (Underground City).

Banyak Imigran Jadi Suku Tikus “Shuzu” di Bawah Tanah Kota Beijing

suku tikus shuzu Beijing
Banyak imigran yang tinggal di bawah tanah kota Beijing. gambar via zingnews.vn

Melansir CNN, profesor di Universitas of Southern California bernama Annete Kim dalam penelitiannya telah mempelajari 7.000 iklan sewa online untuk memetakan kota bawah tanah di Beijing. Selama melakukan penelitian, jumlah iklan sewa ruang bawah tanah mengalami peningkatan pada tahun 2013.

Alternatif hunian dengan biaya rendah sebenarnya bisa dengan tinggal di desa atau pinggiran kota Beijing. Akan tetapi banyak yang lebih suka tinggal di kota Beijing meski hanya tinggal di bawah tanah. Apa yang jadi alasan mereka yang disebut suku tikus Shuzu tinggal di sana?

Menurut mereka, dengan tinggal di bawah tanah akan memudahkan bepergian ke kota dibandingkan tinggal di pinggiran kota. Bahkan ide perumahan bawah tanah muncul usai populasi di Beijing meledak tahun 2013, termasuk dengan adanya jumlah pendatang yang meningkat dan perumahan murah saat itu.

Bahkan saat itu muncul kebijakan bagi para imigran. Mereka tidak diizinkan untuk tinggal di perkotaan, mengajukan permohonan untuk rumah murah, sekolah lokal, atau bentuk kesejahteraan lain. Dari kebijakan yang tidak memungkinkan mereka untuk tinggal di Beijing, alhasil imigran pun terpaksa memilih tinggal di bawah tanah.

"Tentu saja, tidak ada yang lebih suka tinggal di bawah tanah, tetapi ada preferensi yang kuat untuk lokasi," kata Annette Kim.

Maka tidak mengherankan bila para suku tikus Shuzu yang tinggal di bawah tanah kota Beijing juga banyak dari para imigran. Bahkan, dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut, para imigran banyak yang memutuskan untuk menunda atau tidak memberitahu keluarga mereka terkait kondisi mereka di ibu kota China.

Posting Komentar

0 Komentar